Nilai Rahmat Dalam Perbedaan
Tulisan ini memang sedikit agak panjang, akan tetapi sarat ilmu yang bermakna didalamnya. Kita akan menyaksikan bahwa perbedaan pendapat adalah sesuatu yang lumrah terjadi, tidak perlu bagi kita memaksakan pendapat pada orang lain.
Bahkan dalam sebuah Hadits, Nabi saw bersabda:
اِخْتِلاَفُ اُمَّتِي رَحْمَةٌ
“Perbedaan yang terjadi pada umatku adalah sebuah rahmat” (HR Baihaqi dan Dailami)
Terkadang muncul pendapat dari golongan yang fanatik dengan kelompoknya serta menganggap yang lain salah. Mereka dengan berani mengkritisi hadits ini, dengan dalih bahwa Islam selalu mengajarkan kita untuk selalu bersatu padu dalam menjaga agama Allah SWT.
Jika kita teliti dalam menelaah teks-teks keagamaan seperti Alquran dan hadits kita akan mengerti bahwa sebenarnya perbedaan dalam kehidupan ini merupakan sebuah keniscayaan (sunatullah) yang tidak mungkin kita hindari. Perbedaan tidak hanya terdapat pada kehidupan manusia saja, bahkan para makhluk pilihan seperti para Malaikat, Nabi dan sahabat nabi pun tak lepas dari perbedaan pendapat.
Allah SWT berfirman di dalam Alquran:
قُلْ هُوَ نَبَأٌ عَظِيمٌ (67) أَنْتُمْ عَنْهُ مُعْرِضُونَ (68) مَا كَانَ لِيَ مِنْ عِلْمٍ بِالْمَلَإِ الْأَعْلَى إِذْ يَخْتَصِمُونَ (69) [ص: 67 - 69]
“Katakanlah: "Berita itu adalah berita yang besar, Yang kamu berpaling daripadanya. Aku tiada mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang Al mala'ul a'la (malaikat) itu ketika mereka berbantah-bantahan.” (QS Shad : 67-69)
Ayat di atas membuktikan bahwa Malaikat yang tercipta dengan tanpa hawa nafsu dan selalu taat kepada perintah Allah SWT pun ternyata mengalami perbedaan pendapat satu sama lain.
Para Nabi pun juga terkadang berselisih antara satu dengan yang lain. Allah SWT berfirman :
قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا [الكهف: 78]
“ Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara Aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. (QS Al Kahfi: 78)
Khidhr as melakukan beberapa hal yang menurut Nabi Musa adalah sesuatu yang salah, Nabi Musa pun memprotes apa yang dilakukan oleh Khidhr as sehingga akhirnya Khidhr as pun memutuskan untuk berpisah dengan Nabi Musa seraya menerangkan apa yang mendasari perbuatan beliau.
Para sahabat pun juga terkadang berselisih dan berbeda pendapat. Contohnya, ketika masalah sholat ashar di pemukiman Bani Quraidhah. Bani Quraidhah adalah sekelompok keturunan Yahudi. Rasulullah saw diperintah oleh Allah SWT untuk menyerang kaum itu karena pembangkangan dan pengingkaran perjanjian yang mereka lakukan. Dalam proses penyerangan itu Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya agar mereka tidak melaksanakan Shalat Ashar kecuali setelah sampai di tempat tinggal Bani Quraidhah.
Namun, sebelum mereka sampai di Bani Quraidhah waktu Ashar hampir habis. Di sinilah muncul perbedaan pendapat di antar sahabat. Sebagian dari mereka melaksanakan shalat terlebih dahulu dengan alasan tidak mungkin Rasulullah saw memerintahkan umatnya untuk shalat di luar waktu. Mereka menganggap perintah untuk Shalat Ashar di Bani Quraidhah hanya sebagai isyarat untuk mempercepat langkah. Namun sebagian sahabat lainnya tetap bersikukuh untuk melaksanakan Shalat Ashar di Bani Quraidhah walaupun harus dilakukan di luar waktu. Mereka yakin bahwa apapun yang diperintahkan Nabi saw harus ditaati karena hanya dengan perintah beliaulah kita bisa mengerti perintah Allah SWT. Demikianlah perbedaan itu terjadi dan faktanya ketika mengetahui hal itu Rasulullah saw tidak menyalahkan dua golongan tersebut.
Perselisihan pendapat yang dikisahkan di dalam Alquran dan hadits di atas menunjukkan bahwa perbedaaan pendapat adalah sebuah hal yang sangat lumrah. Jika para malaikat yang tercipta tanpa hawa nafsu, para nabi yang menerima wahyu dari Allah SWT dan para sahabat yang mendapat pendidikan langsung dari sang Nabi saw masih mengalami perbedaan perspektif (pandangan) di antara mereka, maka sangatlah wajar apabila orang-orang setelah mereka pun mengalami perbedaan pendapat.
Namun perlu digaris bawahi bahwa semua perbedaan itu muncul atas dasar taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, dengan ijtihad (penggalian hukum) yang mempunyai dasar kuat bukan menuruti hawa nafsu belaka.
Oleh karena itu Sebagian ulama menyatakan bahwa perbedaan yang dimaksud sebagai rahmat adalah perbedaan para ulama dalam permasalahan furu’iyyah bukan perbedaan yang berasal dari pernyataan orang awam yang tanpa dasar atau ngawur.
Sebagai orang awam yang tidak mampu berijtihad tugas kita adalah mempelajari serta mengikuti hasil hukum yang telah difahami oleh para Imam yang mujtahid berdasarkan Alquran dan Hadits. Terkadang kita menemukan perbedaan pendapat di antara para Imam dalam menentukan suatu hukum. Imam A mengatakan ini haram sedangkan Imam B mengatakan hanya makruh bahkan boleh. Jika kita adalah pengikut imam A maka kita akan menyatakan hal itu adalah adalah haram. Padahal tidak selamanya memungkinkan bagi kita untuk mengikuti pendapat tersebut.
Masalah akan muncul tatkala kita tertuntut atau sangat membutuhkan hal ini, tanpa mengetahui pengarahan dari dasar yang terpercaya kita akan melakukan hal tersebut dengan meyakini keharamannya, ini adalah salah satu bentuk maksiat. Berbeda jika kita mengikuti (taqlid) pada Imam yang mampu menjelaskan dasar-dasar kebolehannya dengan terperinci dan bisa dipertanggung jawabkan, maka pada saat-saat yang mendesak kita bisa mengamalkan pendapat itu dan terbebas dari keharaman yang sebelumnya kita yakini. Di sinilah nilai kerahmatan dalam sebuah perbedaan.
Tulisan ini memang sedikit agak panjang, akan tetapi sarat ilmu yang bermakna didalamnya. Kita akan menyaksikan bahwa perbedaan pendapat adalah sesuatu yang lumrah terjadi, tidak perlu bagi kita memaksakan pendapat pada orang lain.
Bahkan dalam sebuah Hadits, Nabi saw bersabda:
اِخْتِلاَفُ اُمَّتِي رَحْمَةٌ
“Perbedaan yang terjadi pada umatku adalah sebuah rahmat” (HR Baihaqi dan Dailami)
Terkadang muncul pendapat dari golongan yang fanatik dengan kelompoknya serta menganggap yang lain salah. Mereka dengan berani mengkritisi hadits ini, dengan dalih bahwa Islam selalu mengajarkan kita untuk selalu bersatu padu dalam menjaga agama Allah SWT.
Jika kita teliti dalam menelaah teks-teks keagamaan seperti Alquran dan hadits kita akan mengerti bahwa sebenarnya perbedaan dalam kehidupan ini merupakan sebuah keniscayaan (sunatullah) yang tidak mungkin kita hindari. Perbedaan tidak hanya terdapat pada kehidupan manusia saja, bahkan para makhluk pilihan seperti para Malaikat, Nabi dan sahabat nabi pun tak lepas dari perbedaan pendapat.
Allah SWT berfirman di dalam Alquran:
قُلْ هُوَ نَبَأٌ عَظِيمٌ (67) أَنْتُمْ عَنْهُ مُعْرِضُونَ (68) مَا كَانَ لِيَ مِنْ عِلْمٍ بِالْمَلَإِ الْأَعْلَى إِذْ يَخْتَصِمُونَ (69) [ص: 67 - 69]
“Katakanlah: "Berita itu adalah berita yang besar, Yang kamu berpaling daripadanya. Aku tiada mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang Al mala'ul a'la (malaikat) itu ketika mereka berbantah-bantahan.” (QS Shad : 67-69)
Ayat di atas membuktikan bahwa Malaikat yang tercipta dengan tanpa hawa nafsu dan selalu taat kepada perintah Allah SWT pun ternyata mengalami perbedaan pendapat satu sama lain.
Para Nabi pun juga terkadang berselisih antara satu dengan yang lain. Allah SWT berfirman :
قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا [الكهف: 78]
“ Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara Aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. (QS Al Kahfi: 78)
Khidhr as melakukan beberapa hal yang menurut Nabi Musa adalah sesuatu yang salah, Nabi Musa pun memprotes apa yang dilakukan oleh Khidhr as sehingga akhirnya Khidhr as pun memutuskan untuk berpisah dengan Nabi Musa seraya menerangkan apa yang mendasari perbuatan beliau.
Para sahabat pun juga terkadang berselisih dan berbeda pendapat. Contohnya, ketika masalah sholat ashar di pemukiman Bani Quraidhah. Bani Quraidhah adalah sekelompok keturunan Yahudi. Rasulullah saw diperintah oleh Allah SWT untuk menyerang kaum itu karena pembangkangan dan pengingkaran perjanjian yang mereka lakukan. Dalam proses penyerangan itu Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya agar mereka tidak melaksanakan Shalat Ashar kecuali setelah sampai di tempat tinggal Bani Quraidhah.
Namun, sebelum mereka sampai di Bani Quraidhah waktu Ashar hampir habis. Di sinilah muncul perbedaan pendapat di antar sahabat. Sebagian dari mereka melaksanakan shalat terlebih dahulu dengan alasan tidak mungkin Rasulullah saw memerintahkan umatnya untuk shalat di luar waktu. Mereka menganggap perintah untuk Shalat Ashar di Bani Quraidhah hanya sebagai isyarat untuk mempercepat langkah. Namun sebagian sahabat lainnya tetap bersikukuh untuk melaksanakan Shalat Ashar di Bani Quraidhah walaupun harus dilakukan di luar waktu. Mereka yakin bahwa apapun yang diperintahkan Nabi saw harus ditaati karena hanya dengan perintah beliaulah kita bisa mengerti perintah Allah SWT. Demikianlah perbedaan itu terjadi dan faktanya ketika mengetahui hal itu Rasulullah saw tidak menyalahkan dua golongan tersebut.
Perselisihan pendapat yang dikisahkan di dalam Alquran dan hadits di atas menunjukkan bahwa perbedaaan pendapat adalah sebuah hal yang sangat lumrah. Jika para malaikat yang tercipta tanpa hawa nafsu, para nabi yang menerima wahyu dari Allah SWT dan para sahabat yang mendapat pendidikan langsung dari sang Nabi saw masih mengalami perbedaan perspektif (pandangan) di antara mereka, maka sangatlah wajar apabila orang-orang setelah mereka pun mengalami perbedaan pendapat.
Namun perlu digaris bawahi bahwa semua perbedaan itu muncul atas dasar taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, dengan ijtihad (penggalian hukum) yang mempunyai dasar kuat bukan menuruti hawa nafsu belaka.
Oleh karena itu Sebagian ulama menyatakan bahwa perbedaan yang dimaksud sebagai rahmat adalah perbedaan para ulama dalam permasalahan furu’iyyah bukan perbedaan yang berasal dari pernyataan orang awam yang tanpa dasar atau ngawur.
Sebagai orang awam yang tidak mampu berijtihad tugas kita adalah mempelajari serta mengikuti hasil hukum yang telah difahami oleh para Imam yang mujtahid berdasarkan Alquran dan Hadits. Terkadang kita menemukan perbedaan pendapat di antara para Imam dalam menentukan suatu hukum. Imam A mengatakan ini haram sedangkan Imam B mengatakan hanya makruh bahkan boleh. Jika kita adalah pengikut imam A maka kita akan menyatakan hal itu adalah adalah haram. Padahal tidak selamanya memungkinkan bagi kita untuk mengikuti pendapat tersebut.
Masalah akan muncul tatkala kita tertuntut atau sangat membutuhkan hal ini, tanpa mengetahui pengarahan dari dasar yang terpercaya kita akan melakukan hal tersebut dengan meyakini keharamannya, ini adalah salah satu bentuk maksiat. Berbeda jika kita mengikuti (taqlid) pada Imam yang mampu menjelaskan dasar-dasar kebolehannya dengan terperinci dan bisa dipertanggung jawabkan, maka pada saat-saat yang mendesak kita bisa mengamalkan pendapat itu dan terbebas dari keharaman yang sebelumnya kita yakini. Di sinilah nilai kerahmatan dalam sebuah perbedaan.
0 comments:
Post a Comment