Find Me !

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Tuesday, October 7, 2014

Kuliah ITS Kekuatan Kapal BAB III



BAB III
PERHITUNGAN PENYEBARAN MEMANJANG
MOMEN LENGKUNG DAN LENTURAN.

III. 1.  ANGGAPAN DASAR
Untuk perhitungan kapal di air tenang tidak diperlukan anggapan-anggapan khusus dan hal ini banyak dilakukan untuk kapal pedalaman. Untuk kapal yang berlayar dilaut bebas, momen lengkung terbesar terjadi di dalam keadaan air bergelombang. Oleh karena itu perlu disepakati anggapan-anggapan khusus mengenai bentuk dan ukuran gelombang.
Telah banyak usaha yang dilakukan dalam pemilihan ukuran-ukuran gelombang yang paling sesuai untuk perhitungan statis. Untuk jangka waktu yang lama gelombang yang panjangnya sama dengan panjnag kapal antara garis tegak dan tingginya sama dengan Lpp/20 dianggap dapat mewakili keadaan terburuk yang dialami kapal dilaut. Pada keadaan kapal disatu puncak gelombang, puncaknya diletakkan ditengah kapal, sedang pada keadaan kapal didua puncak gelombang, puncak gelombang  berada di AP dan FP.
Mengingat perhitungan kekuatan memanjang kapal dilaksanakan seakan-akan pada keadaan statis, maka dalam kedua hal diatas dianggap bahwa kecepatan dan arak gerak gelombang adalah sama dengan kecepatan dan arah gerak kapal.
Tetapi menurut pengamatan oceanografis jangka panjang menunjukkan, bahwa tinggi gelombang terbesar relatif berkurang jika panjang gelombang bertambah besar. Hal ini menyebabkan dibuatkan beberapa rumus untuk gelombang statis dalam perhitungan momen lengkung memanjang, yang semuanya  memberikan tinggi yang lebih besar dari Lpp/20 untuk panjang gelombang yang kecil dan lebih kecil tingginya untuk panjang gelombang yang besar.
Rumus-rumus hubungan antara tinggi gelombang Hw dengan panjang gelombang Lw yang banyak dipergunakan adalah dari DNV berikut:       
            Hw  =  0,6 Lw 0,6                                            …………... ( 3.1 )
                                ____
Hw  =  1,1 Ö Lw                                             …………... ( 3.2 )

dimana   Hw   =  tinggi gelombang dalam feet
              Lw    =  panjang gelombang dalam feet
Pada umumnya rumus-rumus untuk tinggi gelombang ini dimaksudkan untuk dipakai dengan gelombang trochoidal, dan kalau diperhatikan kedua rumus DNV diatas, dipakai dengan penyebaran tekanan hidrostatis.
Melihat besarnya perbedaan antara hasil rumus-rumus tersebut dan sifat perhitungan yang lebih banyak berupa pendekatan, maka tak akan banyak pengaruhnya jika rumus-rumus tersebut dipakai untuk bentuk gelombang sinusoidal.
Gelombang Trochoidal :
Bentuk gelombang trochoidal adalah salah satu bentuk gelombang yang banyak dipakai dalam perhitungan kekuatan memanjang kapal.
Pembuatan bentuk gelombang trochoidal dapat dilaksanakan dengan dua cara sebagai berikut :
Lw               Hw
 2p                 2
Hw
  2


 
a).  Dalam bentuk persamaan  parameter adalah sebagai berikut:
x   =           .j ^  +          .sin j
y   =           . ( 1 -  cos j )                               …………... ( 3.3 )

dimana:  y  =  tinggi gelombang diukur dari sumbu x keatas.



               x  =  letak titik yang dihitung, diukur dari AP atau tengah kapal.
b).        Dengan cara grafis:

Gambar 3.1a  :   Gelombang trochoidal
Dalam pelaksanaan praktek dilapangan, akan lebih mudah untuk membuat gelombang bentuk  trochoidal tersebut jika dipakai harga j dari yang diperoleh dari tabel III.1 berikut ini.
Dalam cara ini, setengah panjang kapal dibagi dalam 10 bagian dan ordinat gelombang  y  tergantung pada dan merupakan fungsi dari tinggi gelombang Hw dan dapat diperoleh dari persamaan  berikut: 
  y  =  c. Hw
dimana :  c  =  adalah suatu koefisien yang diperoleh dari persamaan  ( 3.3 )
Apabila dikehendaki tingkat ketelitian yang lebih baik, dapat disusun sendiri tabel dengan jumlah pembagian station yang lebih banyak dari tabel III.1 yang telah ada tersebut.
Tabel III.1 :  Harga c untuk gelombang trochoidal


AP










Ä
Hw = Lw/25
Punncak Gelombang.
o
0,019
0,075
0,168
0,292
0,438
0,594
0,748
0,879
0,968
1
Hw = Lw/20
Lembah gelombang
1
0,966
0,871
0,735
0,578
0,422
0,280
0,160
0,072
0,018
0
Penyebaran gaya tekan keatas amat tergantung pada tinggi gelombang. Seperti telah disebutkan dimuka, tinggi gelombang yang dapat dipakai untuk perhitungan adalah  :

1.      Kapal diatas satu puncak gelombang  :  Hw  =  Lw/25
2.      Kapal diatas dua puncak gelombang  :  Hw  = Lw/20
Dalam harga-harga diatas, secara umum  pengaruh dinamis gaya-gaya gelombang telah diperhitungkan juga. Selain itu juga diperhitungkan kenyataan bahwa gaya tekan air adalah lebih besar dilembah gelombang dibandingkan dengan dipuncak gelombang  hal ini akibat gerakan air dalam gelombang (Smith Effect).
Seperti terlihat dalam tabel diatas, harga c tergantung pada harga Hw/Lw. jika Hw < Lw/25, dapat dipakai harga c untuk Hw  = Lw/25, sedang jika Hw > Lw/20 dapat dipakai harga c untuk Hw  =  Lw/20. Harus diingat bahwa dalam pembuatan bentuk gelombang secara grafis menurut cara diatas, scala pada arah mendatar dan pada arah tegak haruslah sama, sebab kalau tidak, akibat pengaruh Hw/Lw akan didapat trochoide yang sudah berubah bentuk. Juga harus disesuaikan dengan skala dari grafik Bonjean yang dipakai.

Gelombang Sinusidal:
Pada gelombang sinusoidal, permukaan air mengikuti bentuk lengkung fungsi sinusoidal dan digambarkan berdasarkan rumus berikut  :
           
dimana:  y  =  tinggi gelombang diukur dari sumbu gelombang, positif keatas.
               x  =  letak titik yang dihitung, diukur dari AP atau tengah kapal.




Seperti halnya pada gelombang trochoidal, gelombang sinusoidal pun bisa dibuat secara grafis. Adapun cara penggambarannya adalah sebagai berikut:

Gambar 3.1b  : Gelombang sinusoidal


III.2     PENYEBARAN MEMANJANG GAYA BERAT.
Langkah pertama dalam perhitungan bending momen memanjang kapal ialah menentukan penyebaran gaya berat sepanjang kapal. Distribusi berat ini merupakan sebagian pembebanan yang akan menimbulkan bending momen, adalah merupakan hasil penjumlahan dari penyebaran berat kapal kosong dengan berat muatan, perbekalan, crew,  penumpang, persediaan bahan bakar, minyak lumas, air tawar dan lain sabagainya, yaitu merupakan berat total pada saat kapal berlayar.



Karena distribusi berat ini biasanya dihitung dalam tahap perencanaan, maka distribusi berat ini, (terutama berat badan kapal) dihitung dengan cara pendekatan.
Gambar 3.2 :  Penyebaran berat badan kapal, bentuk trapesoidal
Penggambaran trapesoidal didasarkan pada total dari massa Mo, dan jarak titik berat terhadap midship x^.
Berdasarkan rumus-rumus untuk trapesoidal maka   :
Dengan demikian maka :



Biasanya distribusi berat seperti diatas hanya dipakai 1/3 bagiannya saja dari berat kapal kosong sedang 2/3 bagiannya dianggap terdistribusi seperti distribusi gaya tekan keatas pada air tenang.

Gambar 3.3 :  Pendekatan distribusi berat badan kapal bentuk gabungan
Distribusi berat kapal kosong yang lebih sederhana adalah merupakan gabungan antara empat persegi panjang pada 1/3 L ditengah kapal dan trapesium pada 1/3 L diujung-ujungnya.
Adapun  cara penentuan ordinat untuk penggambaran distribusi terpesium ini adalah sebagai berikut .
                        Ordinat   = 
Dimana, harga  k  diperoleh dari tabel III.2 berikut :
Tabel III.2 :  Harga k untuk ordinat
Harga k untuk ordinat
a
b
c
Kapal kurus     d< 0,6
0,653
1,195
0,566
Kapal sedang  0,6 < d < 0,75
0,680
1,185
0,580
Kapal gemuk   d > 0,75
0,706
1,174
0,596




Jika diperlukan harga-harga a, b, dan c yang lain, maka harus memenuhi hubungan berikut :
                       
Cara lain untuk menghitung distribusi berat kapal kosong adalah menggunakan cara  yang dibuat oleh Lloyd’s Register (1964). Cara ini dapat dipakai baik kalau berat kapal kosong sudah diketahui terlebih dulu maupun belum.
Pada pokoknya, berat kapal kosong dengan perlengkapannya tetapi tanpa mesin dan poros serta baling-baling dipecah menjadi dua, bagian badan kapal sampai geladak keatas yang menerus dan bagian-bagaian lain seperti bagunan atas mesin-mesin geladak dan sebagainya.
Masing-masing bagian dihitung dengan rumus-rumus yang sudah tersedia sehingga akhirnya didapat penyebaran berat keseluruhan, sebagai penjumlahan dari penyebaran dari masing-masing bagian. Cara ini dikembangkan khusus untuk perhitungan kekuatan memanjang dan lebih teliti dari cara yang disebutkan sebelumnya.
Sebagai contoh; Pernyataan sekat lintang atau bagian utama kontruksi lainnya sebagai beban terpusatkan adalah tidak tepat, karena dari segi konstruksi, sedikit banyak beratnya akan tersebar ke bagian lainnya hal tersebut diperinci dalam L.R.64 diatas.
Setelah lengkung berat kapal kosong didapat, kita lihat lengkung grafik kapasitas ruangan dan perhitungan berat dari semua bagian-bagian lain yang telah didistribusikan ke arah memanjang. Disini harus diperhatikan bahwa letak titik berat dari masing-masing kelompok berat yaitu muatan, permesinan, bahan bakar, perlengkapan dan peralatan, air tawar dan sebagainya adalah sesuai dengan harga-harga menurut perhitungan berat.
Untuk kapal-kapal dengan kamar mesin ditengah dan penyebaran muatan yang biasa, menurut pengalaman momen lengkung terbesar kebanyakan akan terjadi pada keadaan kapal disatu puncak gelombang. Dalam hal ini dianggap bahwa bahan bakar, air dan persediaan lainnya didaerah tengah kapal sudah dipakai habis, karena hal ini akan menyebabkan keadaan terburuk.
Pada kapal-kapal dengan kamar mesin dibelakang keadaan kapal di dua puncak gelombang akan memberikan momen lengkung terbesar dan dalam hal ini dianggap persediaan di daerah ujung-ujung kapal sudah habis.

Secara grafis distribusi berat badan kapal beserta segala muatan yang diangkut dalam pelayarannya w(x) dapat dilihat pada gambar 3.4  berikut ini :




Gambar 3.4 : Distribusi gaya berat.
Karena berat muatan merupakan bagian yang terbesar dari kumpulan muatan  berat yang ada pada kapal, maka penyusunan muatan sangat berpengaruh terhadap sistem pembebanan pada kapal. Bila muatan kapal penuh dan kapal mempunyai kamar mesin dibelakang, maka distribusi gaya berat akan cenderung terkumpul ditengah kapal, sebaliknya apabila muatan pada kapal tidak ada ( kapal dalam keadaan kosong ), distribusi gaya berat akan cenderung besar di ujung-ujung kapal.

III.3     PENYEBARAN MEMANJANG GAYA TEKAN KEATAS.
Gaya tekan keatas adalah merupakan reaksi massa air terhadap kapal yang tidask lain adalah displacement. Dimana harga displacement tersebut sama dengan massa total kapal, demikian juga resultante gaya tekan keatas tersebut harus tepat satu garis vertical dengan resultanta gaya berat.
            Seperti kita ketahui bahwa displacement kapal dapat diperoleh dari intergrasi ke arah memanjang dari massa-massa air sepanjang kapal.                                                                 
dan total gaya tekan keatas menjadi   g. D                 ( N )
dimana :          m(x)     =    massa bagian air                ( kg/m )
                        g          =    grafitasi                             ( m/dt2 )
Karena massa bagian adalah   :
                        m(x)     =    r.a(x)                                             ……………(3.9)
maka distribusi gaya tekan keatas per meter menjadi :
                        b(x)      =    r.g.a(x).                             (N/m)   ……………(3.10)
dimana :    r          =    massa jenis sir (biasanya termasuk koreksi untuk tebal kulit r=1,031 ton/m3).
            a(x)      =    luas station di potongan sejauh x  dari  AP.      (m2).

Untuk kapal yang berlayar diperairan tenang, distribusi gaya tekan keatas ini dapat ditentukan dengan cepat. Dari Diagram Bonjean dapat dibaca luas station untuk sarat yang ditentukan dan jika luas yang didapat (dalam m2) dikalikan dengan 1,031.g akan didapat intensitas gaya tekan keatas pada station tersebut. Untuk kapal yang berlayar dilaut bergelombang, mula-mula harus digambarkan dahulu bentuk gelombang seperti yang diterangkan dalam pasal yang lalu, dengan skala meninggi  dan memanjang, yang sama skala pada diagram Bonjean. Untuk pendekatan pertama, sumbu gelombang diletakkan berimpit dengan sarat kapal. Kemudian dihitung isi bagian kapal yang berada dalam gelombang dengan Simpson atau lainnya. Pada umumnya displacement yang didapat tidak akan sama dengan berat kapal, jadi gelombang perlu digeser pada arah vertikal.
Besarnya penggeseran diperkirakan dari :
Dimana :          Dh   =   besar  penggeseran vertikal sumbu gelombang
            DD  =   selisih antara jumlah berat dengan displacement
            AWL=   luas bidang garis air.
Setelah besar displacement sama dengan total berat kapal, maka luas tiap station dikalikan dengan 1,031.g  seperti diterangkan dimuka untuk memperoleh gaya tekan keatas per satuan panjang  b(x) .
 




Gambar. 3.6 : Perletakan sumbu gelombang pada gambar bonjean.
Gambar 3.6 diatas menunjukkan; pergeseran perlu dilakukan ke atas apabila gaya berat kapal lebih besar dari pada gaya tekan keatas pada kapal di gelombang, dan sebaliknya digeser ke bawah gaya berat kapal lebih kecil dari pada gaya tekan keatas
Syarat keseimbangan kedua yaitu bahwa titik berat dan titik tekan harus terletak pada satu garis tegak, disini belum diperiksa dan akan dipenuhi dalam persamaan momen lengkung. Dalam perhitungan diatas, bangunan atas juga dimasukkan dalam perhitungan displacement apabila gelombang yang terjadi sampai mengenai bangunan atas.
III.4     PERSAMAAN  DASAR PERHITUNGAN  KEKUATAN MEMANJANG.




Dalam pasal ini dianggap bahwa lengkung distribusi gaya berat kapal dan lengkung distribusi gaya tekan keatas sepanjang kapal dapat memenuhi syarat

Gambar 3.7 :   Penyebaran gaya berat dan gaya tekan keatas
keseimbangan kedua yaitu titik pusat gaya berat dan titik pusat gaya tekan keatas terletak disatu garis vertikal ( satu garis kerja ).
Ruas kanan merupakan distribusi memanjang dari beban-beban yang bekerja pada kapal. Dan f(x) merupakan selisih antara gaya tekan keatas dan gaya berat.
Jika lengkung diagram gaya berat kita kurangi dengan lengkung diagram gaya tekan keatas, akan diperoleh lengkung penyebaran beban sepanjang kapal :
           




Gambar 3.8 :   Penyebaran beban sepanjang kapal
dan beban f(x) ini merupakan turunan kedua dari momen lengkung :
Besar gaya lintang adalah lengkung integral pertama dari beban f(x) ,
oleh karena itu persamaan gaya lintang dapat kita peroleh dari :



Gambar 3.9 :   Integral beban sepanjang kapal



dimana konstante intergrasi besarnya sama dengan nol,  karena  Q(0)  =  0
Gambar 3.10 :   Penyebaran Gaya Lintang sepanjang kapal
Sesuai dengan persamaan (3.13) , maka dagram momen dapat diperoleh dari integrasi persamaan (3.14) :                         



Karena untuk x = 0 ; x = L ( dikedua ujung ) harga momen sama dengan nol , maka besarnya konstanta intergrasi adalah nol.
Gambar 3.11 :  Diagram Gaya Lintang dan Momen Lengkung
Jika diminta juga lenturan kapal, masih harus dilakukan dua kali intergrasi lagi.  Dari persamaan differensial garis lentur     dan dengan pengertian  h (x)  = JÄ / J(x), kita dapatkan  :
dimana  jo = arah garis singgung pada x =- 0
kita menetukan besar j0 dari hasil intergrasi berikutnya dengan syarat  y(L) = 0
disini konstantra  intergrasi  j0 adalah nol jika diambil  y(0) = 0   dan y(L) = 0
           
dari hasil diatas dengan mengganti harga j0 dari persamaan (3.16) dan persamaan (3.17) didapat persamaan sudut lentur dan persamaan lenturan adalah sebagai berikut :




bentuk lengkung diagram hasil intergrasi dapat dilihat pada gambar 3.12.  Dari gambar 3.12 juga terlihat bahwa harga o didapat diperoleh dari syarat batas bahwa y’(x)  harus berharga nol pada titik dimana lenturan adalah terbesar.

Gambar 3.12 :  Diagram Momen lengkung, Sudut lentur, dan Lenturan




Untuk membantu menyelesaikan persamaan sudut lentur dan lenturan, perlu harga perbandingan h(x) = IÄ/I(x) , tetapi karena perbandingan tersebut di ujung-ujung berharga tak terhingga maka kita buat diagram 1/h(x) sebagai terlihat pada gambar 3.13  berikut :

Gambar 3.13 :  Diagram 1/h(x)
Bentuk keadaan dimana beban dan penyebaran memanjang h(x) adalah simetris, maka titik tersebut berimpit dengan titik dimana momen lengkung adalah terbesar.
Dalam praktek, biasanya titik berat dan titik tekan tidak terletak pada satu garis vertikal. Akibatnya, dalam perhitungan ternyata bahwa untuk x = L akan ada momen sisa MR. harga ini harus dihilangkan karena dikedua ujung kapal tidak bisa terjadi momen.

III.5     PENGIMBANGAN MOMEN UNTUK KAPAL DI AIR TENANG DAN KAPAL DIATAS SATU PUNCAK GELOMBANG.

Adanya kesalahan dalam penggambaran dan dalam pengukuran mungkin mengakibatkan bahwa besar gaya lintang di ujung-unjung kapal tidak nol. Gaya lintang sisa  D1Q(x)   ini dapat diimbangkan atau dikoreksi secara linear jika D1Q(x) < 0,03.Qmax (  lihat gambar 3.14.a ) .



Momen sisa juga dapat diimbangi dengan ketelitian yang cukup memadai, dengan memakai cara linear diatas jika DMR < 0,06.Mmax  (lihat gambar 3.14.b).




Gambar 3.14.a : Pengimbang Linear untuk Gaya lintang

Gambar 3.14.b : Pengimbang Linear untuk Momen lengkung
 Untuk harga gaya lintang sisa D2Q(x) yang lebih besar dari harga diatas harus dihapuskan dengan mengoreksi gaya tekan keatas. Demikian juga untuk momen sisa yang lebih besar perlu dilakukan pengimbangan yang lebih teliti. Untuk maksud ini kita bayangkan lengkung gaya tekan keatas dirubah seperti pada Gambar 3.15. 
Karena adanya perubahan ini, akan terjadi perubahan gaya lintang sebesar:
.
Perubahan ini akan menyebabkan perubahan sebesar :
.



Setelah penggeseran gaya tekan keatas, maka momen sisa DMR pada x = L harus sama dengan nol.
Gambar 3.15 : Pengimbangan non linear
                                        Untuk kapal di  puncak gelombang

Maka :          .
Untuk e(x) < L/30  penyelesaian persamaan diatas cukup teliti apabila dipergunakan pendekatan berikut :
           
selanjutnya bila diperhatikan bahwa e(x) dapat digantikan oleh harga e rata-rata yang konstan, maka pengintegrasian persamaan diatas dapat dilakukan sebagai terlihat pada persamaan (3.21) berikut ini :
dan
Dari syarat bahwa  didapatkan :
Jadi ternyata bahwa e ialah besar penggeseran titik tekan. Lengkung tekanan air tidak perlu digantu dengan yang baru, karena perubahan gaya lintang dan momen langsung didapat dari penggeseran titik tekan e dan lengkung tekanan mula-mula  b(x).

III.6     PENGIMBANGAN MOMEN UNTUK KAPAL DI  DUA PUNCAK  GELOMBANG.

Gaya lintang sisa sebesar  D1Q(x)  <  0,03.Qmax  dan momen sisa sebesar  DMR  < 0,06.Mmax juga dapat diimbangkan atau dikoreksi secara linearseperti pada kapal yang berada di atas satu puncak gelombang.
Jika gaya lintang sisa dan momen sisa melebihi harga tersebut diatas, maka pengimbangan secara linear tidak dapat dilakukan seperti pada pasal yang lalu, karena pada keadaan kapal dilembah gelombang lengkung gaya tekan keatas cenderung untuk mempunyai bentuk dua puncak sehingga tidak dapat dituliskan :
           
Bentuk lengkung diagram gaya tekan keatas tersebut dapat dilihat dalam gambar 3.16 dibawah ini.



            Gambar 3.16 : Pengimbangan non linear untuk
            Kapal di lembah gelombang

Perubahan gaya lintang D2Q(x) adalah lengkung intregral dari perubahan gaya tekan keatas dan dapat didekati dengan dengan suatu lengkung fungsi cosinus. Jadi kita dapat menuliskan perubahan gaya lintang pada setiap potongan x adalah : 
Selain itu juga harus berlaku persyaratan
maka ;             
dan akhirnya diperoleh :
                       
            Jadi  q  dapat diartikan sebagai harga rata-rata perubahan gaya lintang dan mempunyai satuan yang sama dengan satuan gaya.
Untuk memudahkan penyelesaian perhitungan persamaan (3.23), harga c (kapa) sesuai persamaan (3.25) telah dihitung untuk pembagian panjang kapal menjadi 20 station dan disusun dalam tabel III.1 berikut :
           
Tabel III.3 :  Harga c untuk pembagian 20 station
0
Ä
1
c
0
0,049
0,191
0,412
0,691
1
1,309
1,588
1,809
1,951
2

Selanjutnya momen pengimbang dihitung dengan mempergunakan persamaan berikut :           
Ternyata bahwa perhitungan dengan mempergunakan pendekatan diatas memberikan hasil yang terletak diantara hasil penggeseran gelombang secara mendatar dan perubahan trim dalam perhitungan yang lebih teliti. Hal ini merupakan bukti kebenaran pemakaian cara pendekatan yang sederhana diatas, karena dalam keadaan sebenarnyapun keadaan seimbang dicapai dengan gabungan dari trim dan pengge-seran mendatar.  Masih ada satu cara pengimbangan lagi yang dapat dipakai pada semua keadaan, yaitu (dimana keseimbangan dapat) dicapai dengan perubahan trim. Setelah momen sisa dan penggeseran titik tekan diketahui besarnya, maka dengan suatu perhitungan tambahan ditentukan luas gading (penampang) yang akan menghasilkan gaya tekan keatas setelah penggeseran tersebut.

III.7     CONTOH PERHITUNGAN :
            Balok Prismatis bebas ( Free-free beam)
Sebagai contoh penerapan rumus diatas kita lihat contoh sebagai berikut. :
 









Kran apung diatas terdiri dari poonton dengan panjang 20 m, lebar 6 m dan tinggi geladak 1,5 m, dan kran 17,5 m batanng muat 2,5 ton dengan beban 10 ton. Digeladak juga ada mesin winch 5 ton dan diesel generator 5 ton. Untuk mengurangi trim, tangki buritan disi air ballast 30 ton. Badan Tongkang bermassa 50 ton terapung di air tawar ,  g = 10m/s2.  Diminta  =  Menggambarkan diagram f(x), Q(x) dan M(x).
Penyelesaian :
Sebagai benda terpung, kran apung ini memenuhi hukum Archimedes, bahwa jumlah gaya berat = gaya tekan ke atas.
            Perincian Gaya Berat   : 
                          Kran                =   17,5   ton         Air balast             =   30   ton        
                          Mesin winch   =     5     ton         Beban Kran         =   10   ton
                          Batang muat   =     2,5 ton         Badan Tongkang =   50   ton        
                          Generator        =     5,0  ton

Jumlah   =    120  ton


Gaya berat       = 120 ton x 10 m/s2     = 1200 kN
Jadi gaya tekan keatas harus 1200 kN juga.

Jika tongkang tidak mengalami trim, maka sarat T dapat dicari sebagai berikut :
T   = 
dan  titik tekan berada dibidang tengah Ä tongkang.

Persyaratan kedua yang harus dipenuhi oleh benda terapung yang dalam keadaan seimbang titik berat harus tepat diatas titik tekan.

Perhitungan Titik Berat Kran :
Momen terhadap Ä     :
Kran           ;      - 17,5 ton   x   10   4,4 m  =   - 770  kN.m.
Boom         ;      -   2,5 ton   x   10    9,0 m =   - 225  kN.m.
Muatan       ;      - 10,0 ton   x   10  12,5 m =   -1250 kN.m.
Generator   ;          5,0 ton   x   10   6,0 m  =      300  kN.m.
Winch         ;          5,0 ton   x   10   1,9 m  =        95  kN.m.
Ballast        ;        30,0 ton   x   10    7,5 m =     2250 kN.m.
Badan         ;        50,0 ton   x   10    0,0 m =           0 kN.m.   +
                                                                                          =      400 kN.m
Titik  Berat   =   =   0,333  m  didepan Ä.
Ternyata titik berat tidak terletak diatas titik tekan, hal ini berarti tongkang mengalami trim, maka perlu dihitung sarat buritan dan sarat haluan dari tongkang tersebut.
Cara 1  :                      
Vol. Baji masuk = vol baji keluar.
½.10 m x t x 6m   =  30.t  m2
lengan thd Ä    =  6,667  m.
momen kedua baji thd  Ä   =    2 x 30.t m2 x 1 t/m3x 10 m/s2x 20  = 4000 t.kN.
                                        4000.t kN  +  400  kN.m     =  0
                                                                        t           =  - 0,1  m.
Jadi :    sarat buritan    = 1 m  - (-0.1  m)         =  1,1  m.
            sarat haluan     = 1 m  + (-0,1 m)         =  0,9  m.

Cara  2.
 Tb    I                                                                  II    Th
                                           Ä
Gaya tekan keatas       =   ½ (Tb  +  Th). 20  m x  6  m  x 1 t/m3x  10  m/s2
=   (Tb  +  Th) . 600  kN/m   =  1200  kN
      Tb  +  Th   =  2  m             . . . . . . . . . . . . (a)
Momen terhadap  Ä    :
Bagian I    :   =  - 2000 .Tb  kN
Bagian  II  :  =  2000.Th. kN.
S Momen  =  0  ,  maka :
-2000 Tb kN  +  2000 Th  kN   +  400  kNm  =  0.
5 (Th  -Tb)  =  -1  m                Th -  Tb  =  -0,2   m     . . . . . . . . . . . . .(b).
dari pers (a) dan (b) kita dapat     Th. = 0,9 m  dan  Tb  =  1,1 m.
Selanjutnya gaya tekan keatas dapat kita hitung :
bh = Luas x p x g  = 0,9 m x 6 m x 1 t/m3x 10 m/52 = 54 kN/m.
bh = 1,1 m x 6,0 m x 1 t/m3x 10 m/ =  66  kN/m.
Jika sistem sumbu diletakkan seperti gambar :

Gaya berat tongkang dianggap tersebar merata  :

Gaya berat air ballast juga tersebar merata  :

Melalui  fondasi,  gaya  berat  kran, batang  muat  dam  beban  bekerja  pada  poonton sebesar  300  kN. 
Kran,  batang  muat  dan  beban  juga  memberikan  momen pada tongkang   melalui fondasi sebesar : 175 kN x 0,6 m – [ 25kN x 4m ] – [ 100 kN x 7,5m ] = - 745  kN.m.
Dengan demikian kita sudah dapat menghitung besarnya intensitas gaya tekan keatas maupun intensitas gaya-gaya berat serta gaya dan momen terpusat. Jika kita sudah menghitung semua itu, selanjutnya dapat membuat diagram b(x), w(x), beban-beban terpusat dan momen akibat beban muatan yang tergantung pada kran.













Diagram  Q(x)


Diagram  M(x)




Ada dua cara yang dapat dipakai  :
I.                   Berdasarkan  pengertian bahwa mengintergerasikan adalah menghitung luas             gambar

Tongkang kita bagi dalam 5 daerah intergrasi  :

Daerah intergrasi 1 :  0 < x < 4 m.

Dalam daerah ini ada gaya tersebar akibat massa badan kapal, air ballast dan gaya tekan air.
Dengan demikian        :
                     f (0 m)   =     (66-25-60) kN/m    =   -19  kN/m.
                     f (5 m)   =     (63-25-60) kN/m    =   -22  kN/m.
maka :           f(4 m)    =  -19kN/m + 4m/5m (-22 + 19) kN/m  =  -21,34 kN/m.
Gaya lintang di 4 m  =   Q (0)  -
Q(4 m)  =   Q (0) – Luas Trapesium.
Q(0) = 0, karena diujung kiri tidak ada tumpuan dan tidak ada gaya terpusat      yang bekerja, jadi ;
Q(4 m) = - ½ ( -19 – 24 )kN/m x 4 m = 80,8 kN.
Gaya terpusat di x = 4 m.
Di  x = 4 m  ada gaya terpusat sebesar – 50 kN, jadi,
            Q(4m)  = Q(4 m) - (-50 kN)  =  130,8 kN.

Daerah Integrasi 2 :   4 m < x < 5 m.
Dalam daerah ini ada gaya tersebar seperti  pada daerah integrasi 1, jadi gaya lintang di x  = 5 m
Q(5m) = Q(4 m )  - ½ ( -21,4   -  22 )kN/m  x  1  m
Q(5m)  = (130,8 + 21,7) kN  =  152,5 kN
Daerah Integrasi 3 :   5 m < x < 8,1 m.
Dalam daerah ini ada gaya tersebar akibat massa badan kapal dan gaya tekan air, jadi
f (5 m)   =  (63 – 25)kN/m      =  38 kN/m.
f (10m)  =  (60 – 25)kN/m      =  35 kN/m.
f(8,1m)  =  38 kN/m + 3,1 m/5 m (35-38)kN/m  =  36,14 kN/m.
Gaya lintang di x  =  8,1 m  :
Q(8,1m)  =  Q(5m ) - ½ (38+36,14)kN/m x 3,1 m =  37,583 kN.
Gaya terpusat di x  =  8,1 m  :
Di x = 8,1 m ada gaya terpusat sebesar –50 kN, jadi :
Q (8,1m+) = 37,583 kN + 50 kN  =  87,583 kN.

Daerah Integrasi 4 :   8,1 M < x < 15 m
Pada daerah Integrasi ini beban sama macamnya dengan daerah integrasi 3,
f (15m) = (57 – 25)kN/m  =   32 kN/m.
Gaya lintang di x = 15 m  :
Q (15m)  =   87,583 kN – ½ (36,14 + 32)kN/m x 6,9 m  =  -147,5 kN.
Gaya terpusat di x = 15 m.
Di x = 15 m ada gaya terpusat sebesar –300 kN, jadi            :
Q(15m  =  -147,5 kN + 300 kN = 152,5 kN.

Daerah integrasi 5 :   15 m < x < 20 m.
Dalam daerah ini beban sama macamnya dengan daerah integrasi 3
f(20m)   =  29 KN/m.
Gaya lintanng di x = 20 m adalah  :



Q(20m)  =  Q(15m) – ½ (32 + 29)kN/m x 5 m = 0 kN/m.

Rumus yang kita pakai diatas adalah : 
Syarat keseimbangan bagi elemen tersebut adalah  :
   ………………..(3c.1)

II.        Berdasarkan Integrasi Fungsi Intensitas Beban.
            Untuk beban-beban yang ada dalam tiap daerah integrasi, lihat cara I diatas.
Daerah Integrasi 1 :   0  m < x < 4 m.
Jumlah Intensitas beban   :
f(x)      =  -12.x /20m + (66-25-60)kN/m  =  - (12.x/20m + 19)kN/m
Q(x)     =   Q(0) -  dz
Q(0)     =   0, sebab diujung kiri tidak ada tumpuan atau gaya
Q(x)     =   (6x2/20m + 19x) kN/m – (6(0 m)2/20m  +  19(0) m) kN/m
Q(x)     =   (6x2/20m + 19x) kN/m.
Q(4m) = (6(4m)2/20m + 19 (4)m ) kN/m  = 80,8 kN.

Gaya Terpusat di  x  =  4 m.
Q(4m)  = Q(4m)  -  Gaya terpusat.
Q(4m)  = 80,8 kN  -  (-50 kN)  =  130,8 kN.

Daerah Integrasi 2 :   4  m  < x  <  5 m.
Pada daerah ini fungsi integrasi beban sama dengan daerah   1  :
Q(x) =   Q(4m) -  dz
                                             x
Q(x) =   130,8 kN + (6x2/20m + 19x)kN/m ½4m
Q(x) =   130,8kN+(6x2/20m+19x)kN/m-(6(4m)2/20m+19(4)m ) kN/m
Q(x) =   ( 6x2/20m + 19x ) kN/m  + 50 kN
Q(5m) = (6(5m)2/20m + 19(5)m ) kN/m + 50 kN  =  152,5 kN.

Daerah Integrasi 3  :   5m  <  x  <  8,1 m.
Jumlah intensitas beban  :

Gaya terpusat di  x  = 8,1 m.

Daerah integrasi 4 :   8,1 m < x <  15 m.
Fungsi intensitas beban sama dengan daerah integrasi  3  :

Gaya terpusat di x  =  15 m.

Daerah integrasi 5 :  15 m < x < 20 m.
Fungsi intensitas beban sama dengan daerah integrsi  3.
           




Ternyata dari uraian diatas terlihat bahwa kedua cara diatas memberikan hasil yang sama. Setelah gaya lintang selesai dihitung, kita dapat melanjutkan menghitung momen lengkung. Untuk perhitungan ini juga ada dua cara. Keduanya didasarkan pada persyaratan keseimbangan momen dari elemen balok.

Titik dasar perhitungan momen adalah ujung kanan elemen :


Cara I :  Berdasarkan pengertian bahwa mengintegrasi adalah menghitung
  luas gambar.
Dari perhitungan gaya lintang, sudah kita dapat f(a), f(b), Q(a) dan M(a), maka dengan persamaan (1.8) kita dapat menghitung M(b) dan integral ruas kiri diganti dengan perhitungan momen beban tersebar terhadap penampang yang bersangkutan.

Daerah Integrasi 1  :  0 < x < 4 m
Harga Q(0) dan M(0) tidak ada, karena tidak ada gaya atau momen serta tumpuan disitu.
Untuk daerah ini titik dasar perhitungan adalah x = 4 m.
f(0)  =  - 19 kN/m,    f(4m)  =   -21,4 kN/m.
            M(4m)  =   - ½.(-19 kN/m). 4m,2(-4m/3) -½ (-21,4 kN/m).4m.(-4m/3)
M(4m)  =  - 158,4 kNm.

Daerah integrasi 2 :  4m < x < 5m
Untuk daerah ini titik dasar perhitungan adalah x  =  5m.
f(4m)  =  - 21,4 kN/m ,   f(5m)  =  - 22 kN/m ,  Q(4m)  =  130,8 kN/m.
M(5m)  =  - 158,4 kN/m + 130,8(-1m) – ½.(-21,4 kN/m).1m.2.(-1m/3).
                              - ½.(-22 kN/m). 1m.(-1m/3)
M(5m)  =  - 300 kN/m.

Daerah Integrasi 3 :  5m < x < 8,1m
Untuk daerah ini titik dasar perhitungan adalah  x  =  15 m.
f(8,1m)  =  36,14 kN/m ,     f (5m) =  38 kN/m ,    Q(5m)  =  152,5 kN.
M(8,1m)  =  - 300 kN/m + 130,8(-1m) -½ (- 21,4 kN/m).1m.2(-1m/3)
                                 - ½ (36,14 kN/m.3,1 m. (-3,1m/3).
M(8,1m)  =  - 593,1391 kNm.

Daerah Integrasi 4 :  8,1m < x < 15m
Untuk daerah ini titik dasar perhitungan adalah x  =  15 m.
f(15m)  =  32 kN/m,    Q(8,1m)  =  87,853 kN.
M(15m) = - 593,1391 kN/m + 87,583 kN.(-6,9 m)
      - ½ (36,14 kN/m).6,9m.2.(-6,9m/3)– ½.(32 kN/m).6.9m (-6,9m/3)
M(15m)  =  - 370 kN/m
Momen terpusat di x  =  15 m.
M(15m)  =  - 370 kN/m - (-745 kN/m)  =  375 kN/m

Daerah Integrasi 5  :  15m < x < 20m
Untuk daerah ini titik perhitungan adalah x = 20 m
f(20m)  =  29 kN/m,    Q(15m)  =  152,5 kN
M(20m)  =  375 kN/m + 152,5 kN.(-5m) – ½.(32 kN.m).5m.(-2 x 5m/3)
                               -½.(29 kN/m).5m.(-5m/3)
M(20m)  =   0  kN/m.

Jadi dengan cara diatas, integrasi dalam pers (3c.2) tidak kita laksanakan langsung, tetapi kita ambil pengertian bahwa integral tersebut menunjukkan momen dari gambar f(z ) terhadap penampang yang bersangkutan.

Cara 2 :  Berdasarkan pengertian, bahwa momen lengkung adalah integral gaya         lintang.
Jadi dalam cara ini kita mengintegrasi fungsi gaya lintang yang sudah kita dapatkan dalam perhitungan gaya lintang menurut cara 2.
Pada dasarnya, yang kita pakai adalah pers (1.3a) diambil baris pertamanya  :

Daerah integrasi  1 :   0 < x < 4 m

Daerah Integrasi 2 : 4m £ x £ 5m.
Q(x)     = {6x2/20m + 19x + 50 m) kN/m.

Daerah Integrasi 3 :  5m £ x £ 8,1m.
Q(x)     = {6x2/20m – 41.x + 350 m) kN/m.

Daerah Integrasi 4 :  8,1m £ x £ 15m.
Q(x)     = {6x2/20m – 41.x + 400 m) kN/m.

Momen terpusat di x = 15 m :
M(15m)  =   - 370 kN.m – ( -745 kN.m)  =    375 kN.m

Daerah Integrasi 4 :  15m £ x £ 20m.
Q(x)     = {6x2/20m – 41.x + 700 m) kN/m.

Dimanakah momen lengkung terbesar terjadi ?
Dari gambar diagram gaya lintang terlihat, bahwa selain di kedua ujung, gaya lintang menjadi nol ( 0 ) dalam daerah integrasi 4 . 
Dalam daerah ini ;    Q(x)  = {6x2/20m – 41.x + 400 m) kN/m  =  0
sehingga   :      6x2  820m.x + 8000 m2  =  0

           

harga tersebut tidak berlaku karena berada diluar batas integrasi, yaitu 8,1m dan 15m

           

harga tersebut berlaku, karena berada didalam batas integrasi, yaitu 8,1 m dan 15 m.
Untuk daerah tersebut :

Kedua cara tersebut tidak harus dipakai sendiri-sendiri , tetapi dapat dipakai secara bersama-sama.
            Cara menghitung luas gambar lebih menguntungkan jika diinginkan menghitung gaya lintang dan momen lengkung di beberpa tempat saja. Cara integrasi lebih menguntungkan jika perlu diketahui besar gaya lintang dan momen lengkung untuk seluruh panjang kapal atau dalam suatu daerah dengan panjang tertentu.
            Pada cara integrasi, perhitungan momen lengkung harus didahului oleh perhitungan gaya lintang, sedangkan dalam cara menghitung luas gambar, hal itu tidak perlu.

1 comments:

  1. Mas untuk gambar bisa diupload lagi, soalnya gambar sudah tidak bisa dilihat

    ReplyDelete