Nusron Wahid, Aswaja Terapan dan Tongkat Nabi Musa
Beberapa politisi itu terus menjadi ular, tidak mau kembali menjadi tongkat dan lupa pada NU
DALAM acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TVOne Selasa, 14Oktober 2014 bertema “FPI Menyerang Ahok Melawan” Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Pemuda (GP Ansor) Nusron Wahid mengeluarkan statemen kontroversial. Pria asal Kudus Jawa Tengah ini menyatakan, hukum konstitusi itu lebih tinggi dari hukum agama.
“Di atas hukum agama dan adat, ada konstitusi negara,” demikian ujar Nusron di acara yang dipandu oleh Karni Ilyas tanpa kehadiran Ahok itu.
Ia juga sempat mengatakan, “Kita orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang tinggal di Indonesia.” Mungkin ia mengarahkan, kenegaraan harus diutamakan daripada keimanan itu sendiri.
Pernyataan ini tentu menggelinding bak bola panas, memicu pro kontra, baik dari orang Nahdhatul Ulama (NU) struktural maupun kultural. Paling tidak itu terjadi di beberapa media sosial yang saya ikuti.
Belajar dari kasus ini, juga kejadian serupa yang juga dilakukan sebagian oknum-oknum yang mengatasnamakan NU, nampaknya organisasi NU membutuhkan “Aswaja Terapan”. “Aswaja Terapan” adalah panduan Ahlus Sunnah, yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas, sebagaimana dipakai rujukan NU.
Panduan ini, berisi klausul-klausul, berikut syarah (penjelasan)nya, yang mengikat bagi seluruh pengurus, banom, lajnah dan lembaga, bahkan politisi yang mengaku sebagai orang NU. Hal ini juga untuk mencegah agar NU tidak hanya menjadi kendaraan politik dan alat pragmatisme politisi, yang hanya ‘mengaku-ngaku’ sebagai orang NU pada saat musim pencalonan atau pemilihan.
Rujukan “Aswaja Terapan” itu adalah Qanun Asasi, AD/ART, khiththah nahdliyah, fikrah nahdliyyah, dan hasil ijtihad (aqwal) ulama yang mu’tabar atau diakui di lingkungan NU. Isinya meliputi standar organisasi mengenai akidah, amaliah, mu’amalah, politik (siyasah), juga standar tasawwuf dan thariqah yang diakui oleh organisasi Islam terbesar di Indonesia ini.
Sebagai aplikasinya, pengurus NU dalam semua tingkatannya, yang perilaku, ucapan, dan pemikirannya melanggar poin-poin “Aswaja Terapan” tersebut, harus diberi nasihat, bimbingan, atau tindakan, baik secara organisasi, bahkan syar’i.
Contoh praksisnya seperti ini. KH As’ad Syamsul Arifin, tokoh yang disegani nahdliyyin itu pernah melakukan mufaraqah dengan NU di bawah kepemimpinan Gus Dur.
Ibarat imam shalat, Gus Dur dalam pandangan Kiai As’ad sudah batal. Nah, “Aswaja Terapan” itu semacam kumpulan aturan tentang syarat sah wudhu dan shalat, rukun wudhu dan shalat, serta hal-hal yang dapat membatalkanya. Ia menjadi suatu payung hukum dan aturan jelas untuk menilai sah dan batalnya ke-NU-an seseorang menurut standar Ahlus Sunnah Wal Jama’ah an-Nahdliyyah.
Apakah hal itu mungkin?
Tentu, penyusunan -apalagi penerapan- “Aswaja Terapan” dalam semua lini kehidupan pengurus dan warga NU ini membutuhkan usaha keras.
Namun, data mengenai hal itu bukannya tidak ada. Salah satu contoh, hasil-hasil Bahtsul Masail mulai tingkat pusat sampai bawah begitu berkelimun. Di sana ada produk pembahasan yang ilmiah mengenai akidah, mu’amalah, siyasah syar’iyah, hubungan antar warga dengan negara, status Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentang ulil amri, dan sebagainya.
Selain produk Lembaga Bahtsul Masail, NU memiliki data lainnya. Antara lain qanun asasi dan Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah karya Hadlratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Demikian pula karya para kiai lainnya tentang tema Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan ke-NU-an.
Dus, itu semua adalah data mentahnya. Produk jadinya adalah “Aswaja Terapan” yang ‘memiliki kekuatan hukum’ di ranah NU.
Maka di kemudian hari, orang NU yang ucapan dan perilakunya ‘tidak NU’, selain akan diberi bimbingan dan tindakan tertentu, berdasarkan “Aswaja Terapan” itu dia tidak dapat dikatakan mewakili NU. Dia hanya dinilai sedang mengeluarkan pendapat pribadi, atau akan dianggap sebagai oknum. Keberadaan dan penerapan “Aswaja Terapan” sekaligus akan menjadi jawaban tidak langsung atas stigma negatif terhadap NU, karena perilaku sebagian kecil ‘oknum’ NU.
Panduan ini perlu diberikan mengingat penerapan kader NU yang dikenal berkarakter tawassuth, tasamuh, tawazun, seperti saat ini sangat bias. Orang Jawa bilang, sak karepe dewe-dewe (menurut penafsiran sendiri).
Politisi NU terkadang juga masih bingung, bagaimana menerapkan ke-aswaja-annya untuk keputusan-keputusan dari balik meja pemerintahan dan birokrasi.
Dalam acara pelantikan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Malang yang saya ikuti, Rais Syuriah PWNU Jatim KH Miftahul Achyar pernah menganalogikan orang NU yang terjun ke dunia politik itu, ibarat tongkat Nabi Musa yang berubah menjadi ular untuk suatu misi tertentu.
Namun sayang, kritik beliau, tidak seperti tongkat Nabi Musa, beberapa politisi itu terus menjadi ular, tidak mau kembali menjadi tongkat. Lupa pada NU, lupa pada Aswaja-nya. Tinggallah politik pragtisnya.
Itu di kancah politik. Belum lagi pemikiran-pemikiran ‘orang NU’ yang kekiri-kirian, berpaham liberal, atau tasyayya’ (berpaham atau mendukung Syi’ah).
Saya tidak mengatakan semua, pengurus hanya membaca dan berusaha memahami AD/ART tiap 5 tahun, 4 tahun, 3 tahun, atau 2 tahun sekali. Lebih tepatnya saat pemilihan pimpinan di Pengurus Besar, Wilayah, Cabang, MWC, atau Ranting. Itupun yang dibaca hanya pasal-pasal mengenai pemilihan rais dan ketua.
Penerapan Aswaja Terapan yang disepakati dan berlaku menyeluruh secara nasional, juga PCI-PCI NU di luar negeri ini berada di bawah kendali Mustasyar dan Syuriah, sesuai dengan Pasal 21 tentang Tugas dan Wewenang Pengurus.
Pasal tersebut berisikan ayat-ayat:
(1) Mustasyar mempunyai tugas dan wewenang:
a. secara kolektip menyelenggarakan musyawarah setiap kali dianggap perlu, menjaga kemurnian Khittah Nahdliyah dan memberikan pertimbangan/nasehat kepada pengurus NU, baik diminta atau tidak diminta;
b. secara pribadi-pribadi dapat memberikan nasehat, binaan dan bimbingan serta membai’at Pengurus Tanfidziyah.
b. secara pribadi-pribadi dapat memberikan nasehat, binaan dan bimbingan serta membai’at Pengurus Tanfidziyah.
(2) Pengurus Syuriyah selaku pimpinan, pengendali dan pengelola mempunyai tugas:
a. menentukan arah kebijaksanaan jam’iyah NU dalam melakukan usaha dan tindakannya untuk mencapai tujuan NU;
b. memberikan petunjuk, bimbingan dan pembinaan dalam memahami, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam menurut faham Ahlus Sunnah wal Jamaah dan al-Madzahibil Arba’ah, baik di bidang aqidah, syari’ah maupun akhlaq/tasawuf;
c. mengendalikan, mengawasi dan memberikan koreksi terhadap semua perangkat jam’iyah agar pelaksanaan program-program NU berjalan di atas ketentuan jam’iyah dan Agama Islam;
d. membimbing, mengarahkan dan mengawasi badan-badan otonom yang langsung berada di bawah Syuriyah.
a. menentukan arah kebijaksanaan jam’iyah NU dalam melakukan usaha dan tindakannya untuk mencapai tujuan NU;
b. memberikan petunjuk, bimbingan dan pembinaan dalam memahami, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam menurut faham Ahlus Sunnah wal Jamaah dan al-Madzahibil Arba’ah, baik di bidang aqidah, syari’ah maupun akhlaq/tasawuf;
c. mengendalikan, mengawasi dan memberikan koreksi terhadap semua perangkat jam’iyah agar pelaksanaan program-program NU berjalan di atas ketentuan jam’iyah dan Agama Islam;
d. membimbing, mengarahkan dan mengawasi badan-badan otonom yang langsung berada di bawah Syuriyah.
(3) Apabila keputusan suatu perangkat NU dinilai bertentangan dengan ketentuan jam’iyah, terutama ajaran Islam, Pengurus Syuriyah atas keputusan rapatnya dapat membatalkan keputusan ataupun langkah perangkat tersebut.
Akhirul kalam, apapun produk ‘ijtihad’ organisasi ini, termasuk “Aswaja Terapan” nanti, tentu yang penting adalah penegakannya.Wallahu a’lam.*
Oleh: Faris Khoirul Anam
Penulis adalah pengurus Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Penulis adalah pengurus Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
0 comments:
Post a Comment